Senin, 27 Juni 2011

BAB V PENUTUP HALUSINASI DENGAR

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Setelah penulis melaksanakan asuhan keperawatan jiwa pada Tn. S dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi dengar di ruang P9 Wisma Gatotkaca Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang, maka penulis dapat mengambil simpulan :
1. Pada kasus ini diagnosa yang muncul pada Tn. S adalah gangguan persepsi sensori haluasinasi dengar, harga diri rendah kronis, dan risiko perilaku kekerasan.
2. Dari tiga masalah keperawatan yang muncul, penulis hanya melakukan intervensi pada dua masalah keperawatan saja yaitu perubahan persepsi sensori ; halusinasi dengar dan harga diri rendah. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang terjadi pada Tn. S belum sesuai dengan tujuan kusus keempat yaitu memanfaatkan sistem pendukung keluarga.
3. Evaluasi yang dilakukan oleh penulis yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir. Evaluasi formatif dilakukan setiap selesai melakukan tindakan, sedangkan evaluasi sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien dengan tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan.
49

B. Saran
1. Perlu adanya kerjasama yang baik antara perawat dengan tenaga kesehatan lainnya, sehingga untuk masalah kesehatan jiwa dapat diatasi dengan cepat dan tepat.
2. Perawat dan tenaga kesehatan lain diharapkan dapat meningkatkan Ilmu pengetahuan dan ketrampilan sesuai perkembangan Ilmu dan Teknologi sehingga sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pada masyarakat.
3. Untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan jiwa hendaknya perawat menerapkan asuhan keperawatan yang meliputi aspek biopsikosoiokultural.
4. Peran serta keluarga sangat diharapkan untuk membantu kesembuhan pada klien dengan gangguan jiwa. Setelah berada di rumah sakit biasanya keluarga semakin tidak memperhatikan klien dengan jarang berkunjung, hal ini menyebabkan klien menjadi rendah diri. Perawat diharapkan dapat memotifasi keluarga untuk lebih memperhatikan klien dengan sering berkunjung, dan menyiapkan psikologis keluarga agar dapat menerima klien.

BAB IV PEMBAHASAN HALUSINASI DENGAR

BAB IV
PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan melakukan pembahasan untuk mengetahui sejauh mana asuhan keperawatan jiwa yang sudah diterapkan dan adanya kesesuaian atau kesenjangan antara teori dan praktik dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa pada Tn. S dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi dengar di ruang P9 Wisma Gatotkaca Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang.
Dalam memberikan asuhan jiwa pada Tn. S dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi dengar di ruang P9 Wisma Gatotkaca Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang, penulis menggunakan proses keperawatan yang diadopsi dari sebuah konsep yang dikembangkan oleh Budi Anna Keliat, dkk edisi kedua tahun 2005 yang menggambarkan proses proses keperawatan jiwa terdiri dari lima langkah yang berturut-turut secara sistematis yaitu pengkajian, analisa data, diagnosa, rencana intervensi, implementasi dan evaluasi.
Pada pengkajian pertama dilakukan pada tanggal 20 November 2010 didapatkan data subjektif sebagai berikut : klien mengatakan mendengar suara-suara yang berisi ”ngapain kamu disini? Pulang saja! Percuma hidupmu sudah hancur”, menurut klien suara itu munculnya saat menjelang tidur dan saat klien menyendiri dan klien merasa terganggu dengan suara itu. Namun selain suara itu, ada suara yang menurut klien munculnya saat di kamar mandi. Menurut klien suara itu mengajaknya bersetubuh. Menurut klien, klien sering melakukan onani karena suara itu membuat nafsu seksualnya muncul. Data Objektif : Nadi : 84 X/ menit, tekanan darah : 110/80 mmHg, klien modar-mandir, saat beraktivitas mulut klien komat-kamit, saat klien menyendiri klien sering seperi mendengarkan dengan memusatkan telinga pada suatu arah, diagnosa medis F 20 yaitu skizofren tak terinci.
Dari data tersebut dapat disimpulkan Tn. S mengalami masalah perubahan persepsi sensori : halusinasi dengar. Diagnosa ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Towsend (1998) Perubahan persepsi-sensori: halusinasi pendengaran adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan-perubahan dalam jumlah dan pola dari stimulus yang mendekat (yang diprakarsai secara internal atau eksternal) disertai dengan suatu pengurangan, berlebih-lebihan, distorsi atau kelainan berespon terhadap stimulus. Tanda gejala yang muncul yaitu bicara, senyum dan tertawa sendiri; mengatakan mendengar suara yang tidak nyata ; merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan ; tidak dapat membedakan hal nyata dan tidak nyata ; tidak dapat memusatkan perhatian dan konsentrasi ; pembicaraan kacau, kadang tidak masuk akal ; sikap curiga ; menarik diri ; sulit membuat keputusan, ketakutan ; mudah tersinggung dan menyalahkan diri sendiri dan orang lain ; muka merah dan kadang pucat ; ekspresi wajah tenang ; tekanan darah meningkat, nadi cepat dan banyak keringat.
Implementasi yang dilakukan untuk mengatasi masalah keperawatan perubahan persepsi sensori ; halusinasi dengar yaitu : membina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip terapeutik. Membina hubungan saling percaya merupakan dasar dari terjadinya komunikasi terapeutik sehingga akan memfasilitasi dalam pengungkapan perasaan, emosi, dan harapan klien ; Membantu klien mengenali halusinasinya. Dengan mengetahui waktu munculnya, isi dan frekuensi dapat diketahui sampai sejauh mana tahapan halusinasi yang dialami klien dan untuk memudahkan penulis memilih cara penanganan agar sesuai dengan masalah yang dialami klien ; mengajarkan klien cara mengontrol halusinasinya. Cara-cara untuk mencagah/mengontrol halusinasi mungkin adalah hal yang baru dan perlu di diskusikan sehingga memungkinkan munculnya inisiatif klien untuk memilih cara yang dianggapnya tepat, serta aman bagi klien ataupun orang lain/lingkungan sekitarnya.
Kekuatan dari implementasi yang dilakukan adalah kemauan klien yang besar untuk menghilangkan halusinasi yang dialaminya, umur klien masih tergolong muda sehingga memudahkan penulis untuk memilih cara berkomunikasi yang tepat. Kelemahannya adalah klien lebih senang menyendiri dan malas untuk berinteraksi dengan orang lain hal ini memicu munculnya halusinasi.
Pada pengkajian kedua yaitu tanggal 21 November 2010 jam 11.00 di dapatkan data subjektif klien mengatakan merasa minder dan malu dengan tetangganya karena kondisi dirinya. Klien mengatakan hidupnya tidak berguna lagi dan klien ingin cepat mati saja supaya tidak merepotkan orang lain. Klien mengatakan jika waktu bisa diulang kembali, klien tidak akan menjadi preman dan menurut dengan perintah ibunya. Klien mengatakan dirinya adalah orang yang paling bodoh dan klien merasa orang yang paling jahat dan tidak patuh pada kedua orang tua. Data objektif : Klien tampak sering melamun dan menyendiri, klien terlihat lesu dan tidak bersemangat, klien malas beraktivitas.
Dari data tersebut penulis menyimpulkan Tn. S mengalami masalah harga diri rendah. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Fitriyana tahun 2007. Ia menyatakan Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Manifestasi klinis dari harga diri rendah yaitu perasaan malu pada diri sendiri akibat penyakit dan akibat terhadap tindakan penyakit. Misalnya malu karena dirawat di rumah sakit jiwa, rasa bersalah terhadap diri sendiri misalnya ini terjadi jika saya tidak ke RS menyalahkan dan mengejek diri sendiri. Merendahkan martabat misalnya, saya tidak bisa, saya tidak mampu, saya memang bodoh dan tidak tahu apa – apa. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri, klien tak mau bertemu orang lain, lebih suka menyendiri. Percaya diri kurang, klien sukar mengambil keputusan yang suram mungkin memilih alternatif tindakan. Mencederai diri dan akibat harga diri rendah disertai dengan harapan yang suram mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan.
Intervensi yang dilakukan yaitu : mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri atau integritas ego diperlukan sebagai dasar asuhan keperwatan ; membantu klien menilai kemampuan yang digunakan, dengan keterbukaan dan pengertian tentang kemampuan yang dimiliki adalah persyaratan untuk berubah dan untuk mempertahankan dirinya sendiri ; membantu klien membuat rencana kegiatan ; membantu klien melakukan kegiatan sesuai kondisi sakitnya untuk memberi kesempatan kepada klien supaya mandiri dan memotivasi agar klien percaya diri.
Kekuatan : ketika diajak berbincang-bincang klien kooperatif, klien selalu bisa saat diajak bertemu untuk berbincang-bincang. Kelemahan : lingkungan yang kurang mendukung, karena klien orang baru di Wisma Gatotkaca klien belum mempunyai teman, saat klien memperkenalkan diri klien sering ditertawakan oleh teman-temannya.
Pengkajian ketiga pada tanggal 22 November 2010, Tn. S mengatakan sebelum masuk ke rumah sakit jiwa, dirumah klien sering berkelahi dengan ayahnya bahkan klien juga sering mengamuk. Klien mengatakan pernah melakukan aniaya fisik terhadap dirinya yaitu dengan membentur-benturkan kepalanya di tembok, serta menyayat tangan kananya. Selain itu klien mengatakan ia pernah memperkosa saudara sepupunya. Data objektif : suhu 36,5 o C, nadi : 84 X/ menit, tekanan darah : 110/80 mmHg, RR : 20X/ menit, berat badan : 60 Kg, tinggi badan : 165 cm. Klien modar-mandir, saat beraktivitas mulut klien komat-kamit, ada jejas pada perut dan ada tato pada punggung badan klien. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah pada Tn. S adalah risiko perilaku kekerasan.
Sesuai dengan teori yang di kemukakan oleh Fitriana tahun 2005, sebenarnya masalah keperawatan yang muncul pada pasien dengan masalah utama perubahan persepsi sensori ; halusinasi dengar antara lain : Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan, Isolasi sosial : menarik diri, Defisit perawatan diri : Mandi/kebersihan, Perubahan proses pikir : Waham, Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif, Kerusakan komunikasi verbal, Gangguan pola tidur , Koping individu tidak efektif. Namun dari analisa data diatas hanya muncul tiga masalah keperawatan dengan prioritas utama gangguan persepsi sensori ; halusinasi dengar, harga diri rendah, dan risiko perilaku kekerasan. Hal ini karena Tn. S tidak menunjukkan data subjektif dan objektif yang menunjang diagnosa Isolasi sosial : menarik diri, Defisit perawatan diri : Mandi/kebersihan, Perubahan proses pikir : Waham, Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif, Kerusakan komunikasi verbal, Gangguan pola tidur.
Langkah keempat adalah perencanaan. Penulis menggunakan perencanan keperawatan jiwa dari teori yang dikemukaan oleh Budi Anna Keliat, dkk tahun 2005 yang mengungkapkan perencanana keperawatan jiwa terdiri dari tiga aspek, yaitu tujuan umum, tujuan khusus, dan rencana intervensi. Tujuan umum berfokus pada penyelesaian permasalahan dari diagnosis. Tujuan khusus berfokus pada etiologi dari diagnosis. Tujuan khusus merupakan rumusan kemampuan yang dicapai atau dimiliki klien. Tujuan khusus dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu: kemampuan kognitif, kemampuan psikomor, dan kemampuan afektif.
Langkah selanjutnya adalah implementasi. Implementasi merupakan tindak lanjut secara nyata dari apa yang telah direncanakan dalam langkah sebelumnya. Pada dasarnya, tindakan keperawatan terdiri dari tindakan observasi dan monitoring, terapi keperawatan, pendidikan kesehatan dan tindakan kolaborasi (Budi Anna Keliat, dkk, 2005 : 16). Pada kasus Tn. S, implementasi yang diberikan belum sesuai dengan perencanaan. Intervensi hanya terbatas klien saja belum memanfaatkan sistem pendukung keluarga. Ini merupakan salah satu masalah yang menghambat tercapainya tujuan asuhan keperawatan. Selain itu implementasi yang dilakukan hanya fokus pada satu masalah belum mencakup semua masalah yang ada.
Langkah terakhir yang dilakukan merupakan evaluasi yaitu langkah berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Dalam hal ini evaluasi yang dilakukan oleh penulis yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir. Evaluasi formatif dilakukan setiap selesai melakukan tindakan, sedangkan evaluasi sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien dengan tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan.

BAB III RESUME KASUS HALUSINASI DENGAR

BAB III
RESUME KASUS

Tn. S berumur 29 tahun, berjenis kelamin laki-laki, rumah klien di desa Gunung Kidul – DIY, klien beragama islam, pendidikan klien hanya sampai sekolah dasar dan klien belum menikah. Penanggung jawab klien adalah Tn.G sebagai Paman dari Tn. S yang juga beragama islam. Pekerjaan Tn. P adalah pedagang, dengan alamat di desa Gunung Kidul – DIY.
Tn. S dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Prof. DR. Soeroyo Magelang 7 November 2010, jam 09.30 WIB di ruang Unit Pelayanan Intensif. Tn. S masuk ruang P9 Wisma Gatotkaca pada tanggal 18 November 2010 jam 11.30 WIB dengan Nomor Register 2844884. Sebelumnya klien juga pernah masuk RSJ pada tahun 2007. Saat ini klien di diagnosa oleh dokter yaitu F 20 (skizofren tak terinci).
Pada saat pengkajian pada tanggal 20 November 2011 sampai dengan tanggal 23 November 2011. Pengkajian pertama didapatkan data subjektif sebagai berikut: klien mengatakan mendengar suara-suara yang berisi ”ngapain kamu disini? Pulang saja! Percuma hidupmu sudah hancur”, menurut klien suara itu munculnya saat menjelang tidur dan saat klien menyendiri. Dalam satu hari suara-suara itu munculnya lima sampai 10 kali sehingga klien merasa terganggu dengan suara itu. Namun selain suara itu, ada suara yang menurut klien munculnya saat di kamar mandi. Menurut klien suara itu mengajaknya bersetubuh. Menurut klien, klien sering melakukan onani karena suara itu membuat nafsu seksualnya muncul. Menurut klien cara yang sudah dilakukan untuk mengusir halusinasinya yaitu dengan menutup kedua telinganya. Namun suara itu masih tetap terdengar. Selain itu klien juga mengatakan minder dan malu dengan tetangganya karena kondisi dirinya. Klien mengatakan hidupnya tidak berguna lagi dan klien ingin cepat mati saja supaya tidak merepotkan orang lain. Klien mengatakan jika waktu bisa diulang kembali, klien tidak akan menjadi preman dan menurut dengan perintah ibunya. Klien mengatakan dirinya adalah orang yang paling bodoh dan klien merasa orang yang paling jahat dan tidak patuh pada kedua orang tua. Tn. S mengatakan sebelum masuk ke rumah sakit jiwa, dirumah klien sering berkelahi dengan ayahnya bahkan klien juga sering mengamuk. Klien mengatakan pernah melakukan aniaya fisik terhadap dirinya yaitu dengan membentur-benturkan kepalanya di tembok, serta menyayat tangan kanannya. Selain itu klien mengatakan bahwa ia pernah memperkosa saudara sepupunya. Data objektif : suhu 36,5 o C, nadi : 84 X/ menit, tekanan darah : 110/80 mmHg, RR : 20X/ menit, berat badan : 60 Kg, tinggi badan : 165 cm. Saat klien menyendiri klien sering seperti mendengarkan dengan memusatkan telinga pada suatu arah. Klien tampak sering melamun, klien modar-mandir, saat beraktivitas mulut klien komat-kamit, klien terlihat lesu dan tidak bersemangat, ada jejas pada perut dan ada tato pada punggung badan klien. Hasil dari pengkajian fokus keperawatan didapatkan diagnosa: Perubahan Persepsi Sensori ; Halusinasi Dengar, Harga Diri Rendah dan Risiko Perilaku Kekerasan.
Berdasarkan masalah yang ditemukan pada saat pengkajian 20 November – 23 November 2010, penulis menyusun rencana intervensi sebagai berikut : a). Rencana Intervensi untuk mengatasi halusinasi : Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip terpeutik ; bantu klien mengenali halusinasinya ; ajarkan klien cara menghardik halusinasinya ; bantu klien cara mengontrol halusinasinya ; manfaatkan sistem pendukung keluarga untuk mendukung klien mengontrol halusinasinya. b). Rencana Intervensi untuk mengatasi harga diri rendah : bantu klien mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki ; bantu klien menilai kemampuan yang digunakan ; bantu klien membuat rencana kegiatan ; bantu klien melakukan kegiatan sesuai kondisi sakitnya.
Implementasi yang dilakukan selama empat hari yaitu mulai tanggal 21 November 2011 sampai 24 November 2011 yaitu membina hubungan saling percaya dengan cara menyapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal ; memperkenalkan diri dengan sopan, menanyakan ulang nama lengkap klien dan nama yang disukai klien; menjelaskan tujuan pertemuan. Setelah melakukan percakapan selama 15 menit hubungan saling percaya telah dicapai ditunjukkan dengan penerimaan klien terhadap tawaran untuk menyelesaikan masalah. Dan klien juga mau untuk berkenalan. Selain itu, klien juga menerima tawaran kontrak pertemuan selanjutnya.
Pertemuan kedua yaitu membantu klien mengenali halusinasinya dengan menanyakan isi halusinasi pasien, menanyakan kapan halusinasi itu muncul, menanyakan frekuensi halusinasi itu muncul, menanyakan situasi yang menimbulkan halusinasi, menanyakan respon pasien terhadap halusinasi, dan menanyakan cara yang sudah dilakukan klien untuk mengusir halusinasi yang dialami klien dan mengajarkan pasien penghardik halusinasi, serta menganjurkan pasien untuk memasukkan cara menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian pasien. Setelah melakukan percakapan selama 15 menit, klien mampu menyebutkan halusinasinya, klien mampu menyebutkan waktu dimana halusinasi itu mucul, klien mampu menyebutkan frekuensi muculnya halusinasi yang dialami, klien mampu menyebutkan situasi yang menyebabkan halusinasi itu mucul, klien juga mampu mengungkapakn perasaanya saat halusinasi itu mucul. Serta klien menyebutkan cara yang sudah dilakuakan untuk mengusir halusinasi yang dialaminya. Klien juga mampu mendemonstrasikan ulang cara menghardik halusinasi yang telah diajarkan.
Pertemuan ketiga yaitu mengajarkan klien cara mengontrol halusinasinya dengan melakukan kegiatan ( bercakap-cakap dengan orang lain ) dan menganjurkan pasien memasukkan ke jadwal kegiatan harian serta membantu pasien mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki. Setelah melakukan percakapan selama 25 menit klien mampu mengikuti dan mendemonstrasikan mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain. Menurut klien, cara menghardik halusinasi yang diajarkan pertama telah dilakukan namun suara-suara yang klien dengar belum hilang sepenuhnya ketika diusir. Suara-suara yang klien ceritakan masih menggangu klien. Selain dapat mengikuti latihan cara mengontrol halusinasinya klien juga dapat menyebutkan aspek positif yang dimilikinya yaitu klien suka olahraga sepakbola dan klien suka main gitar.
Pertemuan keempat mengkaji ulang halusinasi yang dialami klien dan mengevalusai cara yang sudah diterapkan klien untuk mengsuir halusinasinya serta mengajarkan klien mengendalikan halusinasinya dengan cara melakukan kegiatan yang biasa dilakukan klien. setelah bercakap-cakap. Setelah bercakap-cakap selama 20 menit, klien mengatakan masih mendengar suara-suara yang berisi ”ngapain kamu disini? Pulang saja! Percuma hidupmu sudah hancur”, suara itu muncul saat klien mau tidur dan saat klien menyendiri. Dalam satu hari suara itu muncul tiga sampai empat kali perhari. Cara yang sudah dilakukan untuk mengusir halusinasinya yaitu dengan menghardik. Dari cara tersebut menurut klien dapat mengusir halusinasinya. Klien belum mampu mengikuti latihan cara mengontrol halusinasi dengan melakukan aktivitas sehari-hari yang dilakukannya karena klien masih bingung dan belum mempunyai rutinitas yang pasti.
Pertemuan kelima membantu klien menilai kemampuan klien untuk melakukan sesuai dengan aspek positif yang dimilki klien dan membuat rencana kegiatan yang akan dilakukan sesuai dengan kondisi klien. Setelah berbincang-bincang selama 20 menit, klien menilai bahwa dirinya masih mampu melakukan kemampuanya untuk main gitar dengan kondisinya sekarang. Saat merencanakan kegiatan yang akan dilakukanya klien juga mau untuk membuat jadwal main gitar di unit rehabiliasi.
Pertemuan keenam melakukan kegiatan yang telah direncanakan yaitu main gitar di ruang rehabilitasi. Setelah dilakukan kegiatan, klien masih terlihat malu-malu dan tidak mau berinteraksi dengan temannya.