Senin, 27 Juni 2011

BAB V PENUTUP HALUSINASI DENGAR

BAB V
PENUTUP

A. Simpulan
Setelah penulis melaksanakan asuhan keperawatan jiwa pada Tn. S dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi dengar di ruang P9 Wisma Gatotkaca Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang, maka penulis dapat mengambil simpulan :
1. Pada kasus ini diagnosa yang muncul pada Tn. S adalah gangguan persepsi sensori haluasinasi dengar, harga diri rendah kronis, dan risiko perilaku kekerasan.
2. Dari tiga masalah keperawatan yang muncul, penulis hanya melakukan intervensi pada dua masalah keperawatan saja yaitu perubahan persepsi sensori ; halusinasi dengar dan harga diri rendah. Intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang terjadi pada Tn. S belum sesuai dengan tujuan kusus keempat yaitu memanfaatkan sistem pendukung keluarga.
3. Evaluasi yang dilakukan oleh penulis yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir. Evaluasi formatif dilakukan setiap selesai melakukan tindakan, sedangkan evaluasi sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien dengan tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan.
49

B. Saran
1. Perlu adanya kerjasama yang baik antara perawat dengan tenaga kesehatan lainnya, sehingga untuk masalah kesehatan jiwa dapat diatasi dengan cepat dan tepat.
2. Perawat dan tenaga kesehatan lain diharapkan dapat meningkatkan Ilmu pengetahuan dan ketrampilan sesuai perkembangan Ilmu dan Teknologi sehingga sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pada masyarakat.
3. Untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan jiwa hendaknya perawat menerapkan asuhan keperawatan yang meliputi aspek biopsikosoiokultural.
4. Peran serta keluarga sangat diharapkan untuk membantu kesembuhan pada klien dengan gangguan jiwa. Setelah berada di rumah sakit biasanya keluarga semakin tidak memperhatikan klien dengan jarang berkunjung, hal ini menyebabkan klien menjadi rendah diri. Perawat diharapkan dapat memotifasi keluarga untuk lebih memperhatikan klien dengan sering berkunjung, dan menyiapkan psikologis keluarga agar dapat menerima klien.

BAB IV PEMBAHASAN HALUSINASI DENGAR

BAB IV
PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan melakukan pembahasan untuk mengetahui sejauh mana asuhan keperawatan jiwa yang sudah diterapkan dan adanya kesesuaian atau kesenjangan antara teori dan praktik dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa pada Tn. S dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi dengar di ruang P9 Wisma Gatotkaca Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang.
Dalam memberikan asuhan jiwa pada Tn. S dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi dengar di ruang P9 Wisma Gatotkaca Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang, penulis menggunakan proses keperawatan yang diadopsi dari sebuah konsep yang dikembangkan oleh Budi Anna Keliat, dkk edisi kedua tahun 2005 yang menggambarkan proses proses keperawatan jiwa terdiri dari lima langkah yang berturut-turut secara sistematis yaitu pengkajian, analisa data, diagnosa, rencana intervensi, implementasi dan evaluasi.
Pada pengkajian pertama dilakukan pada tanggal 20 November 2010 didapatkan data subjektif sebagai berikut : klien mengatakan mendengar suara-suara yang berisi ”ngapain kamu disini? Pulang saja! Percuma hidupmu sudah hancur”, menurut klien suara itu munculnya saat menjelang tidur dan saat klien menyendiri dan klien merasa terganggu dengan suara itu. Namun selain suara itu, ada suara yang menurut klien munculnya saat di kamar mandi. Menurut klien suara itu mengajaknya bersetubuh. Menurut klien, klien sering melakukan onani karena suara itu membuat nafsu seksualnya muncul. Data Objektif : Nadi : 84 X/ menit, tekanan darah : 110/80 mmHg, klien modar-mandir, saat beraktivitas mulut klien komat-kamit, saat klien menyendiri klien sering seperi mendengarkan dengan memusatkan telinga pada suatu arah, diagnosa medis F 20 yaitu skizofren tak terinci.
Dari data tersebut dapat disimpulkan Tn. S mengalami masalah perubahan persepsi sensori : halusinasi dengar. Diagnosa ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Towsend (1998) Perubahan persepsi-sensori: halusinasi pendengaran adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan-perubahan dalam jumlah dan pola dari stimulus yang mendekat (yang diprakarsai secara internal atau eksternal) disertai dengan suatu pengurangan, berlebih-lebihan, distorsi atau kelainan berespon terhadap stimulus. Tanda gejala yang muncul yaitu bicara, senyum dan tertawa sendiri; mengatakan mendengar suara yang tidak nyata ; merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan ; tidak dapat membedakan hal nyata dan tidak nyata ; tidak dapat memusatkan perhatian dan konsentrasi ; pembicaraan kacau, kadang tidak masuk akal ; sikap curiga ; menarik diri ; sulit membuat keputusan, ketakutan ; mudah tersinggung dan menyalahkan diri sendiri dan orang lain ; muka merah dan kadang pucat ; ekspresi wajah tenang ; tekanan darah meningkat, nadi cepat dan banyak keringat.
Implementasi yang dilakukan untuk mengatasi masalah keperawatan perubahan persepsi sensori ; halusinasi dengar yaitu : membina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip terapeutik. Membina hubungan saling percaya merupakan dasar dari terjadinya komunikasi terapeutik sehingga akan memfasilitasi dalam pengungkapan perasaan, emosi, dan harapan klien ; Membantu klien mengenali halusinasinya. Dengan mengetahui waktu munculnya, isi dan frekuensi dapat diketahui sampai sejauh mana tahapan halusinasi yang dialami klien dan untuk memudahkan penulis memilih cara penanganan agar sesuai dengan masalah yang dialami klien ; mengajarkan klien cara mengontrol halusinasinya. Cara-cara untuk mencagah/mengontrol halusinasi mungkin adalah hal yang baru dan perlu di diskusikan sehingga memungkinkan munculnya inisiatif klien untuk memilih cara yang dianggapnya tepat, serta aman bagi klien ataupun orang lain/lingkungan sekitarnya.
Kekuatan dari implementasi yang dilakukan adalah kemauan klien yang besar untuk menghilangkan halusinasi yang dialaminya, umur klien masih tergolong muda sehingga memudahkan penulis untuk memilih cara berkomunikasi yang tepat. Kelemahannya adalah klien lebih senang menyendiri dan malas untuk berinteraksi dengan orang lain hal ini memicu munculnya halusinasi.
Pada pengkajian kedua yaitu tanggal 21 November 2010 jam 11.00 di dapatkan data subjektif klien mengatakan merasa minder dan malu dengan tetangganya karena kondisi dirinya. Klien mengatakan hidupnya tidak berguna lagi dan klien ingin cepat mati saja supaya tidak merepotkan orang lain. Klien mengatakan jika waktu bisa diulang kembali, klien tidak akan menjadi preman dan menurut dengan perintah ibunya. Klien mengatakan dirinya adalah orang yang paling bodoh dan klien merasa orang yang paling jahat dan tidak patuh pada kedua orang tua. Data objektif : Klien tampak sering melamun dan menyendiri, klien terlihat lesu dan tidak bersemangat, klien malas beraktivitas.
Dari data tersebut penulis menyimpulkan Tn. S mengalami masalah harga diri rendah. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Fitriyana tahun 2007. Ia menyatakan Harga diri rendah adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Manifestasi klinis dari harga diri rendah yaitu perasaan malu pada diri sendiri akibat penyakit dan akibat terhadap tindakan penyakit. Misalnya malu karena dirawat di rumah sakit jiwa, rasa bersalah terhadap diri sendiri misalnya ini terjadi jika saya tidak ke RS menyalahkan dan mengejek diri sendiri. Merendahkan martabat misalnya, saya tidak bisa, saya tidak mampu, saya memang bodoh dan tidak tahu apa – apa. Gangguan hubungan sosial, seperti menarik diri, klien tak mau bertemu orang lain, lebih suka menyendiri. Percaya diri kurang, klien sukar mengambil keputusan yang suram mungkin memilih alternatif tindakan. Mencederai diri dan akibat harga diri rendah disertai dengan harapan yang suram mungkin klien ingin mengakhiri kehidupan.
Intervensi yang dilakukan yaitu : mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri atau integritas ego diperlukan sebagai dasar asuhan keperwatan ; membantu klien menilai kemampuan yang digunakan, dengan keterbukaan dan pengertian tentang kemampuan yang dimiliki adalah persyaratan untuk berubah dan untuk mempertahankan dirinya sendiri ; membantu klien membuat rencana kegiatan ; membantu klien melakukan kegiatan sesuai kondisi sakitnya untuk memberi kesempatan kepada klien supaya mandiri dan memotivasi agar klien percaya diri.
Kekuatan : ketika diajak berbincang-bincang klien kooperatif, klien selalu bisa saat diajak bertemu untuk berbincang-bincang. Kelemahan : lingkungan yang kurang mendukung, karena klien orang baru di Wisma Gatotkaca klien belum mempunyai teman, saat klien memperkenalkan diri klien sering ditertawakan oleh teman-temannya.
Pengkajian ketiga pada tanggal 22 November 2010, Tn. S mengatakan sebelum masuk ke rumah sakit jiwa, dirumah klien sering berkelahi dengan ayahnya bahkan klien juga sering mengamuk. Klien mengatakan pernah melakukan aniaya fisik terhadap dirinya yaitu dengan membentur-benturkan kepalanya di tembok, serta menyayat tangan kananya. Selain itu klien mengatakan ia pernah memperkosa saudara sepupunya. Data objektif : suhu 36,5 o C, nadi : 84 X/ menit, tekanan darah : 110/80 mmHg, RR : 20X/ menit, berat badan : 60 Kg, tinggi badan : 165 cm. Klien modar-mandir, saat beraktivitas mulut klien komat-kamit, ada jejas pada perut dan ada tato pada punggung badan klien. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah pada Tn. S adalah risiko perilaku kekerasan.
Sesuai dengan teori yang di kemukakan oleh Fitriana tahun 2005, sebenarnya masalah keperawatan yang muncul pada pasien dengan masalah utama perubahan persepsi sensori ; halusinasi dengar antara lain : Resiko perilaku kekerasan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan, Isolasi sosial : menarik diri, Defisit perawatan diri : Mandi/kebersihan, Perubahan proses pikir : Waham, Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif, Kerusakan komunikasi verbal, Gangguan pola tidur , Koping individu tidak efektif. Namun dari analisa data diatas hanya muncul tiga masalah keperawatan dengan prioritas utama gangguan persepsi sensori ; halusinasi dengar, harga diri rendah, dan risiko perilaku kekerasan. Hal ini karena Tn. S tidak menunjukkan data subjektif dan objektif yang menunjang diagnosa Isolasi sosial : menarik diri, Defisit perawatan diri : Mandi/kebersihan, Perubahan proses pikir : Waham, Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif, Kerusakan komunikasi verbal, Gangguan pola tidur.
Langkah keempat adalah perencanaan. Penulis menggunakan perencanan keperawatan jiwa dari teori yang dikemukaan oleh Budi Anna Keliat, dkk tahun 2005 yang mengungkapkan perencanana keperawatan jiwa terdiri dari tiga aspek, yaitu tujuan umum, tujuan khusus, dan rencana intervensi. Tujuan umum berfokus pada penyelesaian permasalahan dari diagnosis. Tujuan khusus berfokus pada etiologi dari diagnosis. Tujuan khusus merupakan rumusan kemampuan yang dicapai atau dimiliki klien. Tujuan khusus dapat dibagi menjadi tiga aspek yaitu: kemampuan kognitif, kemampuan psikomor, dan kemampuan afektif.
Langkah selanjutnya adalah implementasi. Implementasi merupakan tindak lanjut secara nyata dari apa yang telah direncanakan dalam langkah sebelumnya. Pada dasarnya, tindakan keperawatan terdiri dari tindakan observasi dan monitoring, terapi keperawatan, pendidikan kesehatan dan tindakan kolaborasi (Budi Anna Keliat, dkk, 2005 : 16). Pada kasus Tn. S, implementasi yang diberikan belum sesuai dengan perencanaan. Intervensi hanya terbatas klien saja belum memanfaatkan sistem pendukung keluarga. Ini merupakan salah satu masalah yang menghambat tercapainya tujuan asuhan keperawatan. Selain itu implementasi yang dilakukan hanya fokus pada satu masalah belum mencakup semua masalah yang ada.
Langkah terakhir yang dilakukan merupakan evaluasi yaitu langkah berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Dalam hal ini evaluasi yang dilakukan oleh penulis yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir. Evaluasi formatif dilakukan setiap selesai melakukan tindakan, sedangkan evaluasi sumatif dilakukan dengan membandingkan respon klien dengan tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan.

BAB III RESUME KASUS HALUSINASI DENGAR

BAB III
RESUME KASUS

Tn. S berumur 29 tahun, berjenis kelamin laki-laki, rumah klien di desa Gunung Kidul – DIY, klien beragama islam, pendidikan klien hanya sampai sekolah dasar dan klien belum menikah. Penanggung jawab klien adalah Tn.G sebagai Paman dari Tn. S yang juga beragama islam. Pekerjaan Tn. P adalah pedagang, dengan alamat di desa Gunung Kidul – DIY.
Tn. S dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Prof. DR. Soeroyo Magelang 7 November 2010, jam 09.30 WIB di ruang Unit Pelayanan Intensif. Tn. S masuk ruang P9 Wisma Gatotkaca pada tanggal 18 November 2010 jam 11.30 WIB dengan Nomor Register 2844884. Sebelumnya klien juga pernah masuk RSJ pada tahun 2007. Saat ini klien di diagnosa oleh dokter yaitu F 20 (skizofren tak terinci).
Pada saat pengkajian pada tanggal 20 November 2011 sampai dengan tanggal 23 November 2011. Pengkajian pertama didapatkan data subjektif sebagai berikut: klien mengatakan mendengar suara-suara yang berisi ”ngapain kamu disini? Pulang saja! Percuma hidupmu sudah hancur”, menurut klien suara itu munculnya saat menjelang tidur dan saat klien menyendiri. Dalam satu hari suara-suara itu munculnya lima sampai 10 kali sehingga klien merasa terganggu dengan suara itu. Namun selain suara itu, ada suara yang menurut klien munculnya saat di kamar mandi. Menurut klien suara itu mengajaknya bersetubuh. Menurut klien, klien sering melakukan onani karena suara itu membuat nafsu seksualnya muncul. Menurut klien cara yang sudah dilakukan untuk mengusir halusinasinya yaitu dengan menutup kedua telinganya. Namun suara itu masih tetap terdengar. Selain itu klien juga mengatakan minder dan malu dengan tetangganya karena kondisi dirinya. Klien mengatakan hidupnya tidak berguna lagi dan klien ingin cepat mati saja supaya tidak merepotkan orang lain. Klien mengatakan jika waktu bisa diulang kembali, klien tidak akan menjadi preman dan menurut dengan perintah ibunya. Klien mengatakan dirinya adalah orang yang paling bodoh dan klien merasa orang yang paling jahat dan tidak patuh pada kedua orang tua. Tn. S mengatakan sebelum masuk ke rumah sakit jiwa, dirumah klien sering berkelahi dengan ayahnya bahkan klien juga sering mengamuk. Klien mengatakan pernah melakukan aniaya fisik terhadap dirinya yaitu dengan membentur-benturkan kepalanya di tembok, serta menyayat tangan kanannya. Selain itu klien mengatakan bahwa ia pernah memperkosa saudara sepupunya. Data objektif : suhu 36,5 o C, nadi : 84 X/ menit, tekanan darah : 110/80 mmHg, RR : 20X/ menit, berat badan : 60 Kg, tinggi badan : 165 cm. Saat klien menyendiri klien sering seperti mendengarkan dengan memusatkan telinga pada suatu arah. Klien tampak sering melamun, klien modar-mandir, saat beraktivitas mulut klien komat-kamit, klien terlihat lesu dan tidak bersemangat, ada jejas pada perut dan ada tato pada punggung badan klien. Hasil dari pengkajian fokus keperawatan didapatkan diagnosa: Perubahan Persepsi Sensori ; Halusinasi Dengar, Harga Diri Rendah dan Risiko Perilaku Kekerasan.
Berdasarkan masalah yang ditemukan pada saat pengkajian 20 November – 23 November 2010, penulis menyusun rencana intervensi sebagai berikut : a). Rencana Intervensi untuk mengatasi halusinasi : Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip terpeutik ; bantu klien mengenali halusinasinya ; ajarkan klien cara menghardik halusinasinya ; bantu klien cara mengontrol halusinasinya ; manfaatkan sistem pendukung keluarga untuk mendukung klien mengontrol halusinasinya. b). Rencana Intervensi untuk mengatasi harga diri rendah : bantu klien mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki ; bantu klien menilai kemampuan yang digunakan ; bantu klien membuat rencana kegiatan ; bantu klien melakukan kegiatan sesuai kondisi sakitnya.
Implementasi yang dilakukan selama empat hari yaitu mulai tanggal 21 November 2011 sampai 24 November 2011 yaitu membina hubungan saling percaya dengan cara menyapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal ; memperkenalkan diri dengan sopan, menanyakan ulang nama lengkap klien dan nama yang disukai klien; menjelaskan tujuan pertemuan. Setelah melakukan percakapan selama 15 menit hubungan saling percaya telah dicapai ditunjukkan dengan penerimaan klien terhadap tawaran untuk menyelesaikan masalah. Dan klien juga mau untuk berkenalan. Selain itu, klien juga menerima tawaran kontrak pertemuan selanjutnya.
Pertemuan kedua yaitu membantu klien mengenali halusinasinya dengan menanyakan isi halusinasi pasien, menanyakan kapan halusinasi itu muncul, menanyakan frekuensi halusinasi itu muncul, menanyakan situasi yang menimbulkan halusinasi, menanyakan respon pasien terhadap halusinasi, dan menanyakan cara yang sudah dilakukan klien untuk mengusir halusinasi yang dialami klien dan mengajarkan pasien penghardik halusinasi, serta menganjurkan pasien untuk memasukkan cara menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian pasien. Setelah melakukan percakapan selama 15 menit, klien mampu menyebutkan halusinasinya, klien mampu menyebutkan waktu dimana halusinasi itu mucul, klien mampu menyebutkan frekuensi muculnya halusinasi yang dialami, klien mampu menyebutkan situasi yang menyebabkan halusinasi itu mucul, klien juga mampu mengungkapakn perasaanya saat halusinasi itu mucul. Serta klien menyebutkan cara yang sudah dilakuakan untuk mengusir halusinasi yang dialaminya. Klien juga mampu mendemonstrasikan ulang cara menghardik halusinasi yang telah diajarkan.
Pertemuan ketiga yaitu mengajarkan klien cara mengontrol halusinasinya dengan melakukan kegiatan ( bercakap-cakap dengan orang lain ) dan menganjurkan pasien memasukkan ke jadwal kegiatan harian serta membantu pasien mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki. Setelah melakukan percakapan selama 25 menit klien mampu mengikuti dan mendemonstrasikan mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain. Menurut klien, cara menghardik halusinasi yang diajarkan pertama telah dilakukan namun suara-suara yang klien dengar belum hilang sepenuhnya ketika diusir. Suara-suara yang klien ceritakan masih menggangu klien. Selain dapat mengikuti latihan cara mengontrol halusinasinya klien juga dapat menyebutkan aspek positif yang dimilikinya yaitu klien suka olahraga sepakbola dan klien suka main gitar.
Pertemuan keempat mengkaji ulang halusinasi yang dialami klien dan mengevalusai cara yang sudah diterapkan klien untuk mengsuir halusinasinya serta mengajarkan klien mengendalikan halusinasinya dengan cara melakukan kegiatan yang biasa dilakukan klien. setelah bercakap-cakap. Setelah bercakap-cakap selama 20 menit, klien mengatakan masih mendengar suara-suara yang berisi ”ngapain kamu disini? Pulang saja! Percuma hidupmu sudah hancur”, suara itu muncul saat klien mau tidur dan saat klien menyendiri. Dalam satu hari suara itu muncul tiga sampai empat kali perhari. Cara yang sudah dilakukan untuk mengusir halusinasinya yaitu dengan menghardik. Dari cara tersebut menurut klien dapat mengusir halusinasinya. Klien belum mampu mengikuti latihan cara mengontrol halusinasi dengan melakukan aktivitas sehari-hari yang dilakukannya karena klien masih bingung dan belum mempunyai rutinitas yang pasti.
Pertemuan kelima membantu klien menilai kemampuan klien untuk melakukan sesuai dengan aspek positif yang dimilki klien dan membuat rencana kegiatan yang akan dilakukan sesuai dengan kondisi klien. Setelah berbincang-bincang selama 20 menit, klien menilai bahwa dirinya masih mampu melakukan kemampuanya untuk main gitar dengan kondisinya sekarang. Saat merencanakan kegiatan yang akan dilakukanya klien juga mau untuk membuat jadwal main gitar di unit rehabiliasi.
Pertemuan keenam melakukan kegiatan yang telah direncanakan yaitu main gitar di ruang rehabilitasi. Setelah dilakukan kegiatan, klien masih terlihat malu-malu dan tidak mau berinteraksi dengan temannya.

Sabtu, 25 Juni 2011

Hubungan antara pola asuh gizi dengan status gizi anak pra sekolah usia 3 – 5 tahun di Kelurahan Klego Kota Pekalongan tahun 2010.

HUBUNGAN POLA ASUH GIZI DENGAN STATUS GIZI ANAK PRA SEKOLAH DI KELURAHAN KLEGO KOTA PEKALONGAN
TAHUN 2010


Al Dila Indah Lestariningsih, Dwi Indryana, Nur Izzah Priyogo


Abstrak

Pola asuh gizi merupakan praktek rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak. Status gizi anak pra sekolah merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap orang tua. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pola asuh gizi dengan status gizi anak pra sekolah usia 3-5 tahun di Kelurahan Klego Kota Pekalongan Tahun 2010. Jenis penelitian bersifat explanatory reseach (penelitian penjelasan). Sifat penelitiannya adalah survey deskriptif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan pendekatan Cross Sectional. Hipotesa ini ada hubungan antara pola asuh gizi dengan status gizi anak pra sekolah. Populasi 280 ibu yang mempunyai anak pra sekolah dan tersebar di 8 RW. Sampel dalam penelitian ini menggunakan cluster random sampling dengan mengambil 25% dari 8 RW yaitu RW 3 dan RW 8 sebanyak 86 ibu yang mempunyai anak pra sekolah. Namun yang dijadikan sampel yaitu sebanyak 76 ibu yang mempunyai anak pra sekolah, karena 6 anak ibunya tidak mau anaknya dijadikan responden dan 4 anak tidak ditempat pada saat penelitian. Pengumpulan data menggunakan kuesioner, menimbang anak dengan timbangan injak dan mengukur tinggi anak menggunakan mikrotoa. Analisa data menggunakan uji spearman rank dengan hasil nilai ρ value 0,000 yang berarti >0,05. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara pola asuh gizi dengan status gizi anak pra sekolah di Kelurahan Klego Kota Pekalongan Tahun 2010. Hasil penelitian ini diharapakan agar bidan atau tenaga kesehatan dapat memberikan pengetahuan atau penyuluhan pada masyarakat tentang status gizi anak pra sekolah dengan memberi leaflet.


Kata Kunci : Pola Asuh Gizi, Status Gizi Anak Pra Sekolah
Kepustakaan : 15 Buku (1997 – 2007), 7 website
Jumlah : xv halaman/ 63 halaman, 11 tabel, 1 gambar, 17 lampiran.





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak Dasawarsa 1990-an, kata kunci pembangunan bangsa di Negara berkembang, termasuk di Indonesia adalah Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam menciptakan SDM yang bermutu, perlu ditata sejak dini yaitu dengan memperhatikan kesehatan anak – anak, khususnya anak pra sekolah. Salah satu unsur penting dari kesehatan adalah masalah gizi, kekurangan gizi pada anak pra sekolah dapat menimbulkan efek negatife seperti otak mengecil, berat badan dan tinggi badan tidak sesuai dengan umur dan rawan terhadap penyakit. Berdasarkan susenas tahun 2006 prevalensi status gizi kurang pada balita 20,1% pada tahun 1999, 19,08% pada tahun 2000, namun terjadi peningkatan menjadi 21,1% pada tahun 2002, 20,59% pada tahun 2003 dan 21,5% pada tahun 2005 (Depkes RI. 2005). Kekurangan gizi pada anak akan mengakibatkan “Lost Generation” atau generasi yang hilang yaitu generasi dengan IQ yang relatife lebih rendah. Hal itu dikarenakan bahwa anak pra sekolah yang bergizi buruk beresiko tinggi kehilangan sebagian potensinya untuk menjadi Sumber Daya Manusia kelas satu karena menurunnya kemampuan intelektual anak (Soekirman, 2000, h : 19) .
Masalah gizi kurang (under nutrition) dan gizi lebih (over nutrition) saat ini di Indonesia merupakan masalah yang sama – sama berbahaya bagi Negara. Untuk masalah kelebihan gizi banyak terjadi di perkotaan yang tingkat ekonominya tinggi, penyakit yang timbul adalah degeneratif karena pola konsumsi makanannya kurang serat tetapi tinggi protein dan lemak. Sedangkan kekurangan gizi banyak terjadi di pedesaan dengan tingkat ekonomi rendah. Telah terungkap bahwa Indonesia mengalami masalah gizi ganda yang artinya sementara masalah gizi kurang yang masih didominasi oleh Kurang Energi Protein (KEP), Masalah Anemia Besi, Masalah gangguan akibat Kekurangan Yodim (GAKY), Masalah Kurang Vitamin A (KVA), dan masalah gizi lebih yaitu masalah Obesitas terutama di kota – kota besar (Supariasa, 2001, h : 1).
Status gizi anak pra sekolah merupakan hal penting yang harus diketahui oleh setiap orang tua. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh kembang di usia balita didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini, bersifat irreversible (tidak dapat pulih). Data tahun 2007 memperlihatkan 4 juta balita Indonesia kekurangan gizi, 700 ribu diantaranya mengalami gizi buruk. Sementara yang mendapat program makanan tambahan hanya 39 ribu anak. Status gizi ditinjau dari tinggi badan, sebanyak 25,8 persen anak balita Indonesia pendek (SKRT 2004). Ukuran tubuh yang pendek ini merupakan tanda kurang gizi yang berkepanjangan. Lebih jauh, kekurangan gizi dapat mempengaruhi perkembangan otak anak. Padahal, otak tumbuh selama masa balita. Fase cepat tumbuh otak berlangsung mulai dari janin usia 30 minggu sampai bayi 18 bulan (Khomsan. 2009).
Hal yang perlu menjadi perhatian dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia saat ini adalah mempersiapkan generasi muda yang sehat melalui pembinaan gizi sejak dini, dimulai dari anak usia pra sekolah. Setiap keluarga baik di desa atau di kota berkewajiban mengasuh anak menuju kedewasaan dan kemandirian di masa depan. Pola asuh anak dalam setiap keluarga tidak selalu sama. Secara keseluruhan mutu asuhan dan perawatan anak yang kurang memadai disebabkan kurangnya pengetahuan dan perhatian ibu, merupakan pokok pangkal terjadinya malapetaka yang menimpa bayi dan anak – anak yang membawa mereka kejurang kematian (Moehji. 2000).
Pola asuh gizi merupakan praktek rumah tangga yang diwujudkan dengan tersedianya pangan dan perawatan kesehatan serta sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak (Zeiten. 2000). Soekirman (2000, h : 19), menyatakan bahwa pola asuh gizi adalah berupa sikap dan perilaku ibu dalam hal kedekatannya dengan anak memberikan makan, merawat, keberhasilan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Kesemuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam hal kedekatan fisik dan mental, status gizi, pendidikan umum, pengetahuan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau masyarakat dan sebagainya dari ibu atau pengasuh anak.
Data dari Dinas Kesehatan Kota Pekalongan, di Kecamatan Pekalongan Timur pada bulan Januari 2010 prevalensi gizi buruk balita cukup tinggi yaitu 6,36%. Pada bulan Januari 2010, diperoleh data insidensi gizi buruk balita berdasarkan indikator BB/TB paling tinggi adalah di wilayah kerja Puskesmas Klego yaitu sebanyak 42,86%. (Depkes Pekalongan Kota, 2010). Berdasarkan hasil survey pendahuluan, rata – rata anak diasuh bukan oleh orang tuanya tetapi diasuh oleh saudara dan kakek neneknya. Hal ini disebabkan rata – rata ibu di daerah klego bekerja sebagai buruh.
Berdasarkan data di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian “Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Status Gizi Anak Pra Sekolah Usia 3 – 5 Tahun di Kelurahan Klego Kota Pekalongan tahun 2010”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui “Apakah ada hubungan pola asuh gizi dengan status gizi anak pra sekolah usia 3 – 5 tahun di Kelurahan Klego Kota Pekalongan Tahun 2010”.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu :
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pola asuh gizi dengan status gizi anak pra sekolah usia 3 – 5 tahun di Kelurahan Klego Kota Pekalongan tahun 2010.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran status gizi anak pra sekolah usia 3 – 5 tahun di Kelurahan Klego Kota Pekalongan Tahun 2010.
b. Mengetahui gambaran pola asuh gizi di Kelurahan Klego Kota Pekalongan Tahun 2010.
c. Mengetahui hubungan antara pola asuh gizi dengan status gizi anak pra sekolah usia 3 – 5 tahun di Kelurahan Klego Tahun 2010.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Dengan dilaksanakannya penelitian ini, peneliti dapat menambah pengetahuan tentang penelitian pola asuh gizi dengan status gizi anak pra sekolah usia 3 – 5 tahun serta meningkatnya keterampilan dan wawasan terhadap penelitian.
2. Bagi Ilmu Pengetahuan
a. Dapat menjadi masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang pola asuh gizi dengan status gizi anak pra sekolah usia 3 – 5 tahun agar menggali lebih dalam lagi faktor – faktor yang mempengaruhi penerapan pola asuh gizi dan status gizi anak pra sekolah usia 3 – 5 tahun.
b. Dapat dijadikan referensi di perpustakaan yang dapat digunakan oleh peneliti lain di bidang status gizi anak pra sekolah usia 3 – 5 tahun dan pola asuh gizi agar lebih mengembangkan penelitiannya.
3. Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai masukkan agar tenaga kesehatan khususnya bidan untuk lebih jeli lagi dalam menangani status gizi anak pra sekolah usia 3 – 5 tahun untuk menurunkan angka gizi buruk/gizi kurang pada balita di Indonesia.

Hubungan antara pemberian MP ASI dini dengan kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan di Wilayah kerja Puskesmas Bojong I kabupaten Pekalongan tahun 20

BAB I
P E N DA H U L U A N

A. Latar Belakang
Prioritas pembangunan kesehatan diarahkan pada upaya penurunan angka kematian bayi dan ibu. Berdasarkan Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia 2007 rata-rata per tahun terdapat 401 bayi baru lahir di Indonesia meninggal dunia sebelum umurnya genap 1 tahun. Berdasarkan survei lainnya, yaitu Riset Kesehatan Dasar Departemen Kesehatan tahun 2007, kematian bayi baru lahir (neonatus) merupakan penyumbang kematian terbesar pada tingginya angka kematian bayi (AKB). Setiap tahun sekitar 20 bayi per 1.000 kelahiran hidup meninggal dalam rentang waktu 0-12 hari setelah kelahirannya. Dalam rentang 2002-2007 (data terakhir), angka kematian neonatus tidak pernah mengalami penurunan (Bataviase 2009,h.1).
Sesuai dengan target pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), Depkes telah menentukan target penurunan AKB di Indonesia dari rata-rata 36 meninggal per 1.000 kelahiran hidup menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. AKB di indonesia termasuk salah satu yang paling tinggi di dunia. Hal itu tecermin dari perbandingan dengan jumlah AKB di negara tetangga seperti Malaysia yang telah mencapai 10 per 1.000 kelahiran hidup dan Singapura dengan 5 per 1.000 kelahiran hidup (Bataviase 2009,h.1).
1

Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Badriul Hegar mengatakan banyak faktor yang menyebabkan angka kematian bayi tinggi, antara lain faktor kesehatan, faktor lingkungan seperti keadaan geografis, dan faktor nutrisi. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan hampir separuh kematian bayi umur 29 hari sampai 11 bulan juga disebabkan oleh penyakit yang bisa dicegah dengan intervensi lingkungan dan perilaku. Penyakit tersebut adalah diare dan pneumonia.(Bataviase 2009,h.1)
Menurut Nuraini Irma Susanti, diare dapat disebabkan karena kesalahan dalam pemberian makan, dimana bayi sudah diberi makan selain ASI sebelum berusia 6 bulan. Perilaku tersebut sangat beresiko bagi bayi untuk terkena diare karena berbagai alasan, antara lain pencernaan bayi belum mampu mencerna makanan selain ASI, bayi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan zat kekebalan yang hanya dapat diperoleh dari ASI serta adanya kemungkinan makanan yang diberikan bayi sudah terkontaminasi oleh bakteri karena alat yang digunakan untuk memberikan makanan atau minuman kepada bayi tidak steril. Berbeda dengan makanan padat ataupun susu formula, ASI bagi bayi merupakan makanan yang paling sempurna. (General Java Online 2004 h.1).
Di Indonesia, Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 450/MENKES/SK/IV/2004 menetapkan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif bagi bayi sejak lahir sampai dengan berumur enam bulan dan dianjurkan dilanjutkan sampai anak berusia dua tahun dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai. Pemberian makanan pada bayi dan anak usia 0-24 bulan yang optimal menurut Global Strategy on Infant and Young Child Feeding (WHO/Unicef, 2002) adalah: menyusui bayi segera setelah lahir; memberikan ASI eksklusif yaitu hanya ASI saja tanpa makanan dan minuman lain sampai bayi berumur 6 bulan; memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat dan adekuat sejak usia 6 bulan; dan tetap meneruskan pemberian ASI sampai usia anak 24 bulan. Pada tahun 2005, 80% bayi di Indonesia tidak lagi menyusu sejak 24 jam pertama sejak mereka lahir, dimana seharusnya ibu memberikan ASI yang merupakan makanan utama yang sangat diperlukan bayi.
Berdasarkan hasil penelitian Unicef di Indonesia setelah krisis ekonomi, dilaporkan bahwa hanya 14% bayi yang disusui dalam 12 jam setelah kelahiran. Kolostrum dibuang oleh kebanyakan ibu karena dianggap kotor dan tidak baik bagi bayi. Unicef juga mencatat penurunan yang tajam dalam menyusui berdasarkan tingkat umur dari pengamatannya diketahui bahwa 63% disusui hanya pada bulan pertama, 45% bulan kedua, 30% bulan ketiga, 19% bulan keempat, 12% bulan kelima dan hanya 6% pada bulan keenam bahkan lebih dari 200.000 bayi atau 5% dari populasi bayi di Indonesia saat itu tidak disusui sama sekali (MM Novaria 2005, h.2).
Berdasarkan hasil penelitian oleh Utami Roesli tahun 2001 tentang alasan ibu tidak memberikan ASI eksklusif dan memberikan makanan pendamping ASI secara dini kepada bayinya yaitu karena merasa ASI tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan bayinya walaupun sebenarnya hanya sedikit sekali (2-5%) yang secara biologis memang kurang produksi ASInya. Alasan berikutnya yaitu karena ibu bekerja untuk mereka beranggapan bahwa ASI saja tidak cukup untuk kebutuhan hidup bayi, takut di tinggal suami, tidak di beri ASI tetap berhasil “jadi orang”, takut bayi akan tumbuh menjadi anak yang tumbuh manja (Utami Roesli 2001, h.47).
Hasil penelitian oleh Setiawan pada tahun 2005 menyebutkan 64 % bayi yang diberi ASI Eksklusif tidak mengalami diare. Hal ini menunjukkan adanya hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare. Setiawan menyebutkan bahwa semakin lama bayi diberi ASI secara eksklusif semakin kecil kemungkinan bayi untuk terkena kejadian diare.( Setiawan 2005, h.1)
Data mengenai kejadian diare dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Pekalongan tahun 2011 dari 1 Januari sampai 28 Februari 2011 diketahui bahwa jumlah penderita diare pada bayi yaitu 709 jiwa yang tersebar di 26 Puskesmas. Sedangkan jumlah penderita diare pada bayi Wilayah kerja Puskesmas Bojong I yaitu 62 jiwa (8,74%), jumlah tersebut paling besar bila dibandingkan 26 Puskesmas lainnya.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pemberian MP ASI dini dengan kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan di Wilayah kerja Puskesmas Bojong I kabupaten Pekalongan tahun 2011.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti merumuskan masalah penelitian/ rumusan masalah penelitian yaitu: ”Apakah ada hubungan antara pemberian MP ASI dini dengan kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan di Wilayah kerja Puskesmas Bojong I kabupaten Pekalongan tahun 2011?”

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu :
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pemberian MP ASI dini dengan kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan di Wilayah kerja Puskesmas Bojong I kabupaten Pekalongan pada tahun 2011.
2. Mengetahui Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi frekuensi pemberian MP ASI pada bayi usia 0-6 bulan di wilayah kerja puskesmas Bojong 1 kabupaten Pekalongan tahun 2011.
b. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan di wilayah kerja puskesmas Bojong 1 kabupaten Pekalongan tahun 2011.
c. Mengetahui hubungan antara pemberian MP ASI dini dengan kejadian diare pada bayi usia 0-6 bulan di Wilayah kerja Puskesmas Bojong I kabupaten Pekalongan pada tahun 2011.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Dengan dilaksanakannya penelitian ini, peneliti dapat menambah pengetahuan tentang penelitian pemberian MP ASI dini dengan kejadian diare, serta meningkatnya keterampilan dan wawasan terhadap penelitian serta mengembangkan ilmu metode penelitian dan biostatistik.
2. Bagi Ilmu Pengetahuan
a. Dapat menjadi masukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang pemberian MP ASI dini dan kejadian diare.
b. Dapat dijadikan referensi di perpustakaan yang dapat digunakan oleh peneliti lain di bidang pemberian MP ASI dini dan kejadian diare.
3. Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai masukkan agar tenaga kesehatan khususnya bidan untuk lebih meningkatkan pengetahuan tentang hubungan pemberian MP ASI dini dengan kejadian diare dan meningkatkan dukungan dalam pemberian ASI eksklusif.
4. Bagi masyarakat
c. Agar masyarakat mengetahui hubungan pemberian Makanan Pendamping ASI dini dengan kejadian diare, sehingga masyarakat lebih memperhatikan pemberian makanan yang tepat untuk bayi dan masyarakat lebih mengembangkan penelitiannya.

PENDAHULUAN KTI DHF

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Penyakit DemamBerdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Kristina, isminah, leni wulandari 2010). Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila, Filipina pada tahun 1953. kasus di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang (Kristina, isminah, leni wulandari 2010).
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak di Asia, dan Dengue Shock Syndrome (DSS) yang parah menyebabkan kematian yang cukup signifikan pada anak-anak (Ngo Thi Nhan et al., 2001). Sampai saat ini DHF merupakan suatu permasalahan kesehatan pada masyarakat yang sangat signifikan dikebanyakan negara tropis Asia Tenggara dan wilayah Pasifik Barat. Penyakit ini termasuk dalam sepuluh penyebab perawatan di rumah sakit dan penyebab kematian pada anak-anak, yang tersebar sedikitnya di delapan Negara-negara tropis Asia (DepKes RI, 1990; Gubler, 1998). Angka morbiditas dan mortalitas DHF dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan dan terjadi di semua propinsi di Indonesia (Setiati et al., 2006). Pada tahun 2004 terjadi kenaikan kejadian DHF yang cukup signifikan dan terjadi pada 30 propinsi dari 32 propinsi di Indonesia (Ahmad, 2004). Penyakit Demam Berdarah disebabkan oleh Virus Dengue dengan tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4. Keempat tipe virus tersebut telah ditemukan diberbagai daerah di Indonesia antara lain Jakarta dan Yogyakarta (Kristina et al.,2004). Faktor yang mempengaruhi penyebaran DBD adalah pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terkendali, tidak adanya control vektor nyamuk, dan peningkatan sarana transportasi (DepKes RI, 1990) (nanang 2009).
Dinas kesehatan kabupaten Pekalongan 2009 mengatakan sebanyak 650 kasus demam berdarah dengue selama 2009 terjadi di Kabupaten pekalongan, dan tujuh korban diantaranya meninggal dunia. Kasus DBD pada 2009 ini cenderung meningkat dibandingkan pada 2008 yang hanya 403 kasus dengan korban 10 meninggal dunia. Kenaikan jumlah kasus DBD memang telah mencapai 50% lebih jika dibandingkan pada tahun sebelumnya. Namun jika dihitung dari jumlah korban meninggal dunia terjadi penurunan, sejumlah daerah yang menjadi endemis DBD, antara lain di daerah Bojong, Kedungwuni, Karanganyar, Kesesi, Wonopringgo, dan Buaran (Kutnadi, 2009)
Data yang di dapat dari catatan Rekam Medis Rumah Sakit Islam Pekajangan Januari sampai Desember 2009 total pederita Demam Berdarah Dengue di RSI PKJ 719, terdiri dari 431 kasus DBD anak-anak dan 288 kasus DBD orang dewasa dan pada bulan Januari 2010 kasus DBD di RSI Pekajangan 98 kasus. Jadi penderita DBD di RSI Pekajangan sangat banyak, maka penulis sangat tertarik untuk membuat Karya Tulis Ilmiah dengan judul “ Asuhan Keperawatan Klien dengan Demam Berdarah Darah pada An. M di Ruang Flamboyan RSI Pekajangan – Pekalongan”.


B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari karya tulis dengan judul asuhan keperawatan klien demam berdarah dengue adalah agar penulis dapat memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada demam berdarah dengue dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.
2. Tujuan Khusus
Penulisan karya tulis ini adalah agar :
a. Dapat mengkaji klien dengan kasus demam berdarah dengue.
b. Dapat menganalisa masalah-masalah yang muncul pada klien dengan DBD.
c. Dapat memprioritaskan masalah dan merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan DBD.
d. Dapat mengidentifikasi perencanaan keperawatan pada klien dengan DBD.
e. Dapat melaksanakan tindakan keperawatan pada klien DBD
f. Dapat mengevaluasi asuhan keperawatan pada klien DBD.
C. Manfaat
1.Bagi Ilmu Pengetahuan
Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran dalam penanganan kasus DBD.
2. Bagi Penulis
Diharapkan dapat menambah pengalaman bagi penulis tentang penanganan kasus DBD.
3. Bagi Institusi
Diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan pada umumnya
dan meningkatkan mutu pelayanan pada klien dengan DBD sehingga dapat
mengurangi terjadinya komplikasi.

PENDAHULUAN KTI FRAKTUR

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa ( Mansjoer, 2000 ).
Dengan makin pesatnya kemajuan lalu lintas di indonesia baik dari segi jumlah pemakaian jalan, jumlah kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan dan kecepatan kendaraan maka mayoritas fraktur adalah akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan lalu lintas sering mengakibatkan trauma kecepatan tinggi dan kita harus waspada terhadap kemungkinan polytrauma yang dapat mengakibatkan trauma organ-organ lain seperti trauma capitis, trauma thoraks, trauma abdomen, trauma ginjal, dll (Reksoprojo, 2000. hal. 502).
Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, kecelakaan domestik, dan kecelakaan / cidera olah raga
Fraktur lebih sering terjadi pada orang laki laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau kecelakaan. Sedangkan pada Usila prevalensi cenderung lebih banyak terjadi pada wanita berhubungan dengan adanya osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormone ( Wikipedia Bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

RSUD Kraton Pekalongan di Ruang Wijaya Kusuma pada saat penulis praktik periode 8-12 November 2010 terdapat 12 pasien dan 5 diantaranya adalah pasien penderita fraktur. Apabila fraktur tidak di tangani dengan baik maka akan terjadi komplikasi lanjut. Berdasarkan dari latar belakang dan data diatas , maka penulis tertarik untuk menulis Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul Asuhan Keperawatan pada Tn. R Dengan Fraktur Cruris (Tibia Fibula) di Ruang Wijaya Kusuma RSUD Kabupaten Pekalongan.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Penulis dapat memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada Tn. R Dengan Fraktur Cruris (Tibia Fibula) di Ruang Wijaya Kusuma RSUD Kabupaten Pekalongan.

2. Tujuan khusus
Penulis dapat memahami proses asuhan keperawatan pada Tn.R dengan fraktur Cruris di ruang Wijaya Kusuma RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan,yang meliputi :
a. Pengkajian dan analisa data
b. Membuat diagnosa keperawatan
c. Menyusun rencana asuhan keperawatan
d. Melaksanakan implementasi keperawatan
e. Melakukan evaluasi tindakan yang telah dilaksanakan
f. Mendokumentasikan asuhan keperawatan
\

C. Manfaat Penulisan
1. Institusi pendidikan
Dapat di gunakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang akan datang.
2. Pelayanan kesehatan
Dapat menjadi bahan masukan bagi perawat yang di rumah sakit untuk mengambil langkah-langkah kebijakan dalam rangka upaya peningkatan mutu pelayanan keperawatan klien dengan fraktur cruris.
3. Klien dan keluarga
Dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dalam merawat diri sendiri maupun orang lain yang sehubungan dengan fraktur cruris.
4. Penulis
Dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam memberikan asuhan keperawatan serta mengaplikasikan ilmu yang di peroleh selama pendidikan.

PENDAHULUAN KTI APPENDIKTOMI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Appendiksitis adalah penyakit radang pada appendiks demiformis. Appendiks atau umbai cacing hingga saat ini belum diketahui fungsinya dengan pasti namun sering menimbulkan keluhan yang mengagangu. Appendiks merupakan tabung panjang, sempit (6-9 cm) menghasilkan lendir 1-2 ml/hr. Lendir itu secara normal dicurahkan dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Bila ada hambatan dalam pengaliran lendir tersebut maka dapat mempermudah timbulnya appendicitis (Ester, 2001 : 161)
Appendiksitis atau radang apendiks merupakan kasus infeksi intraabdominal yang sering dijumpai di negara-negara maju, sedangkan pada negara berkembang jumlahnya lebih sedikit, hal ini mungkin terkait dengan diet serat yang kurang pada masyarakat modern (perkotaan) bila dibandingkan dengan masyarakat desa yang cukup banyak mengkonsumsi serat. Appendiksitis dapat menyerang orang dalam berbagai umur, umumnya menyerang orang dengan usia dibawah 40 tahun, khususnya 8 sampai 14 tahun, dan sangat jarang terjadi pada usia dibawah dua tahun. Apabila peradangan pada appediks tidak segera mendapatkan pengobatan atau tindakan maka usus buntu akan pecah, dan usus yang pecah dapat menyebabkan masuknya kuman kedalam usus, menyebabkan peritonitis yang bisa berakibat fatal serta dapat terbentuknya abses di usus (Mansjoer 2000: 307)
Pada penelitian multietnik yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 2007, dihasilkan data 4 dari 10000 anak usia dibawah 14 tahun menderita appendiksitis dan lebih dari 80.000 kasus appendiksitis terjadi di Amerika serikat dalam setahun. Who memperkirakan insidens apendiksitis di dunia tahun 2007 mecapai 7% dari keseluruhan jumlah penduduk dunia (Juliansyah, 2008)
Hasil survey pada tahun 2008 Angka kejadian appendiksitis di sebagian besar wilayah indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia, jumlah pasien yang menderita penyakit apendiksitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di Indonesia atau sekitar 179.000 orang. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di indonesia, apendisitis akut merupakan salah satu penyebab dari akut abdomen dan beberapa indikasi untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Insidens apendiksitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen lainya (Depkes 2008)
Jawa Tengah tahun 2009, jumlah kasus appendiksitis dilaporkan sebanyak 5.980 dan 177 diantaranya menyababkan kematian. Jumlah penderita appendiksitis tertinggi ada di Kota Semarang, yakni 970 orang. Hal ini mungkin terkait dengan diet serat yang kurang pada masyarakat modern (Dinkes Jateng, 2009)
Angka kejadian appendiksitis di RSUD Batang, perode 1 Januari sampai 31 Desember 2010, dari seluruh jumlah pasien rawat inap tercatat sebanyak 7% atau 153 penderita appendiksitis dengan rincian 47 pasien wanita dan 104 pasien pria. Ini menduduki peringkat ke 3 dari keseluruhan jumlah kasus di instalsi RSUD Batang. Hal ini membuktikan tingginya angka kesakitan dengan kasus apendiksitis di RSUD Batang.
Sesuai dengan misi dan keyakinan perawat yaitu membantu klien untuk memenuhi kebutuhannya secara holistik yang mencakup aspek bio-psiko-sosial-spiritual, maka perawat harus memberikan pelayanan asuhan keperawatan yang komperhensif melalui pendekatan proses keperawatan agar klien dan lingkungannya dapat memandang dirinya sebagai individu yang berharga dan dapat melakukan fungsi normal sebagai individu yang memiliki konsep diri yang positif sehingga kebutuhannya akan terpenuhi secara optimal.
Berdasarkan latar belakang itulah penulis tertarik untuk membuat Karya Tulis dengan judul : “ Asuhan Keperawatan Pada Tn. Y Dengan Post Operasi Appendisitis di ruang Dahlia RSUD Batang “

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Setelah melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan appendisitis penulis dapat menerapkan asuhan keperawatan sesuai dengan kewenangan perawat dan standar asuhan keperawatan yang berlaku.
2. Tujuan khusus.
Setelah melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan post operasi appendiksitis penulis dapat:
a. Melakukan pengkajian dengan mengumpulkan semua data baik melalui anamnesa ataupun pemeriksaan fisik dan penunjang yang dibutuhkan untuk menilai keadaan pasien secara menyeluruh pada pasien dengan post operasi appendiksitis.
b. Menganalisa data dengan tepat pada pasien dengan post operasi appendiksitis.
c. Menyusun diagnosa keperawatan pada pasien dengan post operasi appendiksitis.
d. Merencanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan post operasi appendiksitis.
e. Melaksanakan atau dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan post operasi appendiksitis.
f. Mengevaluasi asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan pada pasien dengan post operasi appendiksitis.
g. Mendokumentasikan asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan sesuai proses asuhan keperawatan.


C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
a. Dapat mengerti dan menerapkan asuhan pada pasien dengan post operasi appendiksitis.
b. Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penerapan asuhan keperawatan.
c. Meningkatkan ketrampilan dalam memberikan asuhan keperawatan.
d. Sebagai bekal penulis sebelum terjun di lapangan.

2. Bagi institusi
Dapat mengevaluasi sejauh mana mahasiswa dalam menguasai asuhan keperawatan pada pasien dengan post operasi appendiksitis.

3. Bagi Lahan Praktik
Dapat menjadi bahan masukan bagi perawat yang di rumah sakit untuk mengambil langkah-langkah kebijakan dalam rangka upaya peningkatan mutu pelayanan keperawatan klien dengan post operasi appendisitis.

PENDAHULUAN KTI TBC

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh dunia. Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis atau TBC merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya. Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan China dalam hal jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia. (http://www.medicastore.com/tbc/penyakit_tbc.htm)

Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992, menunjukkan bahwa Tuberkulosis atau TBC merupakan penyakit kedua penyebab kematian, sedangkan pada tahun 1986 merupakan penyebab kematian keempat. Pada tahun 1999 WHO Global Surveillance memperkirakan di Indonesia terdapat 583.000 penderita Tuberkulosis atau TBC baru pertahun dengan 262.000 BTA positif atau insidens rate kira-kira 130 per 100.000 penduduk. Kematian akibat Tuberkulosis atau TBC diperkirakan menimpa 140.000 penduduk tiap tahun. Jumlah penderita TBC paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. (http://www.medicastore.com/tbc)

Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru. (http://www.infopenyakit.com/2007/12/penyakit-tuberkulosis-tbc.html)

TBC merupakan penyakit yang sangat infeksius. Seorang penderita TBC dapat menularkan penyakit kepada 10 orang di sekitarnya. Menurut perkiraan WHO, 1/3 penduduk dunia saat ini telah terinfeksi M. tuberculosis. Kabar baiknya adalah orang yang terinfeksi M. tuberculosis tidak selalu menderita penyakit TBC. Dalam hal ini, imunitas tubuh sangat berperan untuk membatasi infeksi sehingga tidak bermanifestasi menjadi penyakit TBC.

Tuberculosis (TBC) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. TBC terutama menyerang paru-paru sebagai tempat infeksi primer. Selain itu, TBC dapat juga menyerang kulit, kelenjar limfe, tulang, dan selaput otak. TBC menular melalui droplet infeksius yang terinhalasi oleh orang sehat. Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau kaya) dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC.

Berdasarkan data yang penulis peroleh dari bulan Januari sampai bulan Desember di wilayah Pekalongan terdapat 915 kasus TBC. Dengan adanya data tersebut terlihat peningkatan kasus TBC.
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mengambil studi kasus dengan judul Asuhan Keperawatan Keluarga Dengan TBC pada Tn. X di Pekalongan.


B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Penulis mampu menerapkan asuhan keperawatan keluarga yang tepat pada pasien TBC dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan.
2. Tujuan khusus
a. Dapat mengkaji kasus keluarga dengan penyakit TBC .
b. Dapat menganalisa masalah-masalah yang muncul pada keluarga dengan penyakit TBC.
c. Dapat memprioritaskan masalah dan merumuskan diagnosa kaperawatan keluarga pada keluarga dengan penyakit TBC.
d. Dapat menyusun rencana kaperawatan keluarga pada keluarga dengan penyakit TBC.
e. Dapat melakukan tindakan kaperawatan keluarga pada keluarga dengan penyakit TBC.
f. Dapat mengevaluasi asuhan kaperawatan keluarga pada keluarga dengan penyakit TBC.

C. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini adalah :
1. Bagi ilmu pengetahuan
Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran dalam penanganan kasus TBC.
2. Bagi penulis
Diharapkan menambahkan pengalaman bagi penulis tentang penanganan kasus TBC dalam keluarga TBC.
3. Klien dan keluarga klien
Dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman dalam merawat diri sendiri maupun orang lain yang sehubungan dengan TBC.
4. Bagi institusi
Dapat di gunakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan dimasa yang akan datang.
5. Bagi lahan praktik
Dengan adanya penulisan karya tulis ilmiah ini dapat menambah bahan bacaan untuk meningkatkan mutu pelayanan yang lebih baik khususnya pasien TBC.
6. Bagi masyarakat
a. Untuk memberikan informasi yang lebih memadai tentang TBC.
b. Agar masyarakat mampu mengetahui lebih dini dan dapat menanggulangi lebih awal tanda dan gejala dari TBC.

PDF Converter - Convert to PDF Online Free

PDF Converter - Convert to PDF Online Free

PENDAHULUAN KTI HALUSINASI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Undang-Undang kesehatan No. 23 Tahun 1992, pasal 1 menyebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial, yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur / kesejahteraan dan tujuan pembangunan nasional. Kesehatan jiwa yang tercantum dalam UU kesehatan No. 23 tahun 1992 yaitu kesehatan jiwa sebagai bagian dari kesehatan merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan yang optimal baik secara fisik, intelektual, dan emosional dari seseorang yang selaras dengan orang lain (Depkes RI, 2000).
Upaya kesehatan jiwa ditujukan pada seluruh lapisan masyarakat, bukan hanya pada individu yang sakit atau keluarga dari individu tersebut, atau bukan pula hanya pada seseorang yang mempunyai masalah psikososial saja tetapi yang tidak bermasalah juga perlu diintervensi yang bertujuan untuk mencegah agar tidak terjadi gangguan jiwa pada individu tersebut. Banyaknya tekanan maupun kesulitan yang dihadapi individu dalam kehidupan ini berarti semakin banyak pula masalah yang dihadapi, hal ini mempengaruhi status kesehatan jiwa atau perkembangan jiwa seseorang yang akhirnya berakibat pada gangguan jiwa, jika seseorang tidak memiliki koping yang efektif untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi (Depkes RI, 2007).
Gangguan jiwa merupakan respon maladaptive terhadap stressor dari lingkungan dalam/luar ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma lokal dan kultural dan mengganggu fungsi sosial, kerja dan fisik individu (Townsend, 2001).
Salah satu gangguan jiwa adalah skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan prilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal serta kesulitan dalam memecahkan masalah (Stuart, 2007).
Salah satu jenis dari skizofrenia adalah skizofrenia tak terinci yang dikarakteristikkan dengan perilaku yang disorganisasi dengan gejala – gejala (misalnya: waham, halusiansi, incoherensia atau prilaku kacau yang sangat jelas) yang mungkin lebih dari satu tipe / kelompok kriteria skizofrenia. (Townsend, 1998).
Perubahan persepsi-sensori: halusinasi adalah suatu persepsi yang timbul tanpa adanya stimulus atau rangsangan dari luar. Halusinasi berhubungan dengan salah satu indera tertentu yang khas (contoh: auditorik, visual, dan taktil ) yang dapat dibedakan dengan jelas (Kaplan dan Sadock, 2001).
Halusinasi merupakan bentuk dari gangguan persepsi. Halusinasi ini bisa berupa suara-suara yang bising atau mendengung, tapi yang paling sering berupa kata-kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang agak sempurna. Biasanya kalimat tadi membicarakan mengenai keadaan pasien sedih atau yang dialamatkan pada pasien itu. Akibatnya pasien bisa bertengkar, bahkan mencederai diri, orang lain dan lingkungan terjadi dengan suara halusinasi itu. Bisa pula pasien terlihat seperti bersikap dalam mendengar atau bicara keras-keras seperti bila ia menjawab pertanyaan seseorang atau bibirnya bergerak-gerak. Kadang-kadang pasien menganggap halusinasi datang dari setiap tubuh atau diluar tubuhnya. Halusinasi ini kadang-kadang menyenangkan misalnya bersifat khayalan, ancaman dan lain-lain (Juliansyah 2010, Akibat halusinasi, ¶5, http: //www.bluesteam47.blogspot.com)
The American Psychiatric Association Amerika Serikat, memperkirakan angka pasien skizofrenia di dunia cukup tinggi mencapai 1/100 penduduk. Tingginya privalensi gangguan jiwa di dunia dipengaruhi oleh masalah seperti urbanisasi yang cepat, bencana alam, kekerasan dan konflik yang mengancam keamanan dan kesehatan pada tingkat individu, komunitas, nasional dan internasional (Yosep, 2007 : 59)
Menurut data Departemen Kesehatan tahun 2009, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia saat ini, mencapai lebih dari 28 juta orang, dengan kategori gangguan jiwa ringan 11,6 persen dan 0,46 persen menderita gangguan jiwa berat. Hasil penelitian WHO di Jawa Tengan tahun 2009 menyebutkan dari setiap 1.000 warga Jawa Tengah terdapat 3 orang yang mengalami ganguan jiwa. Sementara 19 orang dari setiap 1.000 warga Jawa Tengah mengalami stress (Depkes RI, 2009).
Berdasarkan hasil pencatatan rekam medik di Rumah Sakit Jiwa Prof. dr. Soeroyo Magelang selama periode 1 Januari 2010 sampai dengan 30 September 2010, dari 9075 pasien yang dirawat di ruang inap terdapat pasien dengan halusinasi sebanyak 4.393 atau 68,36% dan menduduki peringkat pertama, Harga Diri Rendah sebanyak 1.370 atau 15,09% menduduki peringkat kedua, Risiko Perilaku Kekerasan sebanyak 1.112 atau 12,25% menduduki peringkat ketiga, dan sisanya adalah kasus lain seperti Defisit Perawatan Diri sebanyak 668 atau 7,36%, Waham sebanyak 636 atau 7,00%, Menarik Diri 280 atau 3,08%, Isolasi Sosial 273 atau 3,00%, Risiko Bunuh Diri 188 atau 2,07%, Kerusakan Mobilitas Fisik 109 atau 1,20%, Gangguan Orientasi Realitas 40 atau 0,44%, Gangguan Proses 6 atau 0,06%.
Berdasarkan latar belakang itulah penulis mengambil karya tulis dengan judul : ”Asuhan Keperawatan Pada Tn. S Dengan Gangguan Persepsi Senori : Halusinasi Dengar Di Ruang P9 Wisma Gatotkaca Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang”.

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Setelah melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi dengar, penulis dapat menerapkan asuhan keperawatan jiwa sesuai dengan kewenangan perawat dan standar asuhan keperawatan yang berlaku.

2. Tujuan khusus.
Setelah melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi dengar, penulis dapat:
a. Melakukan pengkajian dengan mengumpulkan semua data baik melalui anamnesa ataupun pemeriksaan fisik dan penunjang yang dibutuhkan untuk menilai keadaan pasien secara menyeluruh pada pasien dengan halusinasi dengar.
b. Menganalisa data dengan tepat pada pasien dengan halusinasi dengar.
c. Menyusun diagnosa keperawatan pada pasien dengan halusinasi dengar.
d. Merencanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi dengar.
e. Melaksanakan atau dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan halusinasi dengar.
f. Mengevaluasi asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan pada pasien dengan halusinasi dengar.
g. Mendokumentasikan asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan sesuai proses asuhan keperawatan.




C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
a. Dapat mengerti dan menerapkan asuhan keperawatan jiwa dengan gangguan persepsi sensori halusinasi.
b. Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penerapan asuhan kepeawatan jiwa.
c. Meningkatkan ketrampilan dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa.
d. Sebagai bekal penulis sebelum terjun di lapangan.

2. Bagi institusi
a. Dapat mengevaluasi sejauh mana mahasiswa dalam menguasai asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan jiwa.
b. Sebagai bahan bacaan untuk menambah wawasan bagi para mahasiswa khususnya yang berkaitan dengan asuhan keperawatan jiwa.

3. Bagi masyarakat
Dapat lebih memahami dan mengerti tentang gangguan jiwa dan dapat segera melakukan tindakan segera yaitu dengan membawa ke pelayanan kesehatan terdekat.